Selasa, 26 April 2016

Membully Kartini

Siapa yang tidak mengenal Rajen Ajeng Kartini? Nama yang sudah tidak asing lagi di masyarakat Indonesia. Bahkan hari kelahirannya yang diperingati setiap tanggal 21 April dijadikan sebagai Hari Besar Nasional. Berbagai upacara adat dan kegiatan yang semarak pun dilaksanakan untuk menyambut Hari Kartini. Sosok Kartini dianggap sebagai figur teladan bagi kaum perempuan dan tokoh pelopor emansipasi wanita.

Hari Kartini bisa dikatakan sebagai salah satu Hari Besar Nasional yang sangat unik dan cukup menarik untuk dijadikan topik pembicaraan. Bagaimana tidak? Ada begitu banyak tokoh penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, tapi hanya nama Kartini dan hari kelahirannya yang dijadikan sebagai moment Hari Nasional di negara ini. Kita tidak pernah mendengar adanya Hari Soekarno, Hari Bung Hatta, Hari Cut Nyak Dien, Hari Teuku Umar atau hari kelahiran tokoh-tokoh lainnya diperingati sebagai Hari Nasional seperti halnya Hari Kartini.

Membully Kartini
Menjelang peringatan Hari Kartini, berbagai opini yang berisi pro dan kontra terhadap sosok Kartini pun mulai membanjiri status dunia maya. Hampir semua pengguna facebook, twitter, BBM, Line, dan berbagai aplikasi media sosial lainnya sibuk memperdebatkan Hari Kartini.

Banyak yang mengatakan bahwa Hari Kartini merupakan produk olahan Belanda untuk menipu masyarakat Indonesia. Katanya, nama Kartini bisa populer karena surat-surat alay yang pernah ia kirimkan kepada salah satu temannya di Belanda yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku tersebut diterbitkan oleh Belanda tepat 14 tahun setelah kematiannya. Dalam isi surat tersebut, Kartini juga banyak menuliskan tentang kekagumannya terhadap kehidupan para perempuan Eropa yang sudah maju pada saat itu.

Saya pernah membaca status yang ditulis oleh salah satu teman maya di beranda facebook, katanya, ”Kartini adalah “anak emas” Belanda. Dia sama sekali tidak pantas dinobatkan sebagai tokoh emansipasi wanita. Tidak ada aksi nyata yang ia perjuangkan untuk perempuan Indonesia. Kartini tak lebih dari gadis alay yang setiap hari kerjaannya hanya bisa menuliskan curhatan-curhatan galau.”

Beberapa alasan yang tersebut diatas, sering sekali  dijadikan sebagai senjata oleh para haters yang ingin membully Kartini. Tidak hanya di media sosial, di beberapa laman opini media massa pun banyak terdapat tulisan yang isinya merupakan bentuk protes dan ketidaksukaan si penulis terhadap perayaan Hari Kartini.

Saya bukanlah ahli sejarah. Saya juga bukan mahasiswa yang menekuni bidang sejarah. Ada begitu banyak lembar sejarah Indonesia yang belum saya ketahui, termasuk salah satunya adalah sejarah tentang Kartini dan tokoh-tokoh penting lainnya. Akan tetapi, saya sangat menyayangkan ketika ada orang yang mengaku sebagai ahli sejarah atau mereka yang merasa dirinya memiliki banyak pengetahuan tentang sejarah, begitu gencarnya membully seorang wanita bernama Kartini di berbagai media hanya karena ketidaksetujuan mereka terhadap penobatan yang diberikan kepada wanita tersebut sebagai tokoh pelopor emansipasi wanita.

Mengapa Kartini?
Saya sama sekali tidak bermaksud untuk membela Kartini. Tetapi sebagai sesama perempuan saya merasa sedih ketika melihat ada sosok perempuan yang dibully oleh publik hanya karena dia memiliki “sesuatu” yang tidak seharusnya diberikan kepadanya.  Namun, terlepas dari pantas tidaknya Kartini dinobatkan sebagai tokoh emansipasi wanita, kita tidak berhak untuk membully dirinya dengan berbagai hujatan yang cukup menyakitkan. Sebab Kartini sendiri  tidak pernah terobsesi untuk mendapat penghargaan itu. Dia juga tidak pernah meminta agar hari kelahirannya dijadikan sebagai Hari Besar Nasional.

Memang benar, apa yang dilakukan oleh Kartini terhadap Indonesia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien dan tokoh-tokoh perempuan lainnya. Jika Kartini dipandang sebagai sosok yang cerdas karena pernah menulis tentang cita-citanya melanjutkan sekolah ke Belanda melalui surat yang dikirim kepada teman-temannya di Eropa, maka Dewi Sartika justru mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum wanita di berbagai tempat di Bandung dan juga di luar Bandung.

Jika Kartini dianggap sebagai pendekar pembela nasib kaum wanita, maka Cut Nyak Dien, salah satu pejuang wanita yang berasal dari Aceh, tidak semata-mata berjuang untuk kaum wanita saja, tetapi juga untuk kaum lelaki. Dengan penuh kegigihan dia ikut berperang  melawan penjajah demi mempertahankan kemerdekaan.

Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, masih banyak tokoh-tokoh perempuan lainnya yang jauh lebih pantas dijadikan figur teladan kaum perempuan. Lantas, mengapa harus Kartini yang di nobatkan sebagai tokoh pelopor kaum wanita? Mengapa bukan Cut Nyak Dien atau tokoh perempuan lain? Mengapa harus Kartini?

Pertayaan-pertanyaan seperti sering sekali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Barangkali pertanyaan yang sama juga sering memberontak dipikiran kita sendiri, sehingga kita  berpikiran negatif terhadap sosok Kartini. 

Nah, sebelum kita terlanjur menghakimi sosok Kartini di depan publik dan meluapkan emosi dengan berbagai macam kicauan yang kurang pantas, ada baiknya jika kita mencoba untuk melihat beberapa kelebihan yang ada pada diri Kartini. Sama halnya seperti beberapa tokoh perempuan lainnya, Kartini termasuk sosok perempuan yang cerdas dan memiliki pemikiran yang maju pada masanya. Walaupun sosok Kartini tak sehebat tokoh-tokoh perempuan lain, tapi ada satu kelebihan yang ada dalam diri Kartini yang mungkin tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh perempuan lain: Kartini memiliki buku. Seandainya Cut Nyak Dien dan tokoh-tokoh perempuan lainnya juga menulis dan bukunya menjadi bahan bacaan hingga sekarang, barangkali mereka akan jauh lebih terkenal dibandingkan Kartini.
Mengutip dari tulisannya Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”  Maka jangan heran ketika banyak sosok hebat seperti Cut Nyak Dien, Keumala Hayati, dan beberapa tokoh lainnya tidak begitu terkenal dibandingkan dengan sosok Kartini yang dijadikan sebagai perempuan kebanggaan bangsa hanya melalui surat.  


Note: tulisan ini pernah dimuat di media online Lintas Nasional http://www.lintasnasional.com/2016/04/22/membully-kartini/  )                               


                                                 

Minggu, 03 April 2016

Belajar Korupsi di Bangku Pendidikan


Awalnya saya merasa ragu untuk menulis tentang masalah ini. Tapi keraguan itu terkalahkan oleh kegelisahan saya terhadap mirisnya kondisi pendidikan di negeri  ini. Dimana dunia pendidikan, mulai dari bangku Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi tidak hanya berfungsi sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan dan pembentuk karakter anak bangsa, tapi juga menjadi tempat untuk belajar menjadi pencuri dan calon koruptor masa depan bagi generasi muda kita. Kedengarannya memang sadis, tapi suka atau tidak, itulah realita yang terjadi di lapangan.
Perlu dipahami bahwa korupsi tidak selamanya selalu berkaitan dengan uang. Segala bentuk kecurangan dan penipuan yang dilakukan demi mendapatkan suatu keuntungan adalah bagian dari perbuatan korupsi, termasuk salah satunya adalah menyontek saat ujian. Perbuatan menyontek tidak jauh berbeda dengan korupsi. Sama-sama menipu dan menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi. Maka tidak heran jika ada pejabat yang lulusan S1, S2, dan S3 menjadi koruptor di negeri ini, karena sejak duduk di bangku sekolah dan dunia perkuliahan mereka sudah terbiasa melakukan korupsi. Ketika memasuki dunia kerja, tentu saja mereka sudah menjadi koruptor yang handal dan profesional.
Budaya Menyontek
Saya yakin, menyontek bukanlah hal yang baru dalam masyarakat indonesia. Meski tidak dibenarkan dalam dunia pendidikan, tapi kegiatan menyontek ini sudah menjadi suatu tradisi yang sulit untuk dihilangkan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Lihat saja, beberapa hari menjelang ujian, tempat-tempat  fotokopi yang ada di seputaran kampus dan sekolah-sekolah mendadak menjadi ramai. Para pelajar dan mahasiswa sibuk memfotokopikan catatan dan bahan-bahan kuliah dengan ukuran sekecil mungkin sehingga tulisannya nyaris tak terlihat. Barangkali hanya orang-orang profesional yang bisa membaca tulisan tersebut. Pofesional dalarm  bidang menyontek tentunya.
Ada juga yang menulis konsep di kertas yang dipotong kecil-kecil dan disambung hingga panjangnya mencapai satu meter, lalu dilipat sedemikian rupa hingga tinggal dua satu sentimeter. Bukan hanya itu, tidak tanggung-tanggung, ketika ujian sedang berjalan, ada yang langsung browsing jawaban di internet. Antara heran dan kagum, ternyata mereka yang sering menyontek adalah orang-orang yang kreatif dan berani.

Namun, apapun alasannya, bagaimana pun prosesnya, dan dimana pun tempatnya, perlu digarisbawahi bahwa mencuri dan menipu adalah perbuatan tercela dan tak bermoral, termasuk menipu guru, dosen, serta pengawas saat ujian. Bahkan yang lebih parahnya lagi, akibat menyontek, kita tidak hanya menipu orang lain tapi juga menipu diri sendiri. Pada dasarnya ujian adalah untuk menguji sejauh mana kemampuan kita dalam menguasai pelajaran yang sudah pernah dipelajari. Nah, kalau hasil ujiannya dari usaha menyontek dan buka catatan, bagaimana kita bisa mengukur kemampuan diri sendiri?  

Sayangnya, banyak diantara kita yang selama ini masih salah kaprah terhadap dunia pendidikan. Mereka beranggapan bahwa tujuan utama sekolah dan kuliah hanya untuk memperoleh gelar dan selembar ijazah, bukan untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Sehingga yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya agar bisa mendapat nilai dan Ipk yang tinggi, meski nilai yang diperoleh tidak sebanding dengan kemampuan yang mereka miliki. Jika itu hasil yang diharapkan dari sebuah dunia pendidikan, maka saya menyarankan sebaiknya guru dan dosen tidak perlu lagi mengajar di depan kelas setiap hari, cukup kasih tugas dan ujian saja setiap hari. Karena yang mereka butuhkan hanyalah nilai dan ijazah, bukan ilmu pengetahuan.

Intropeksi Diri
Selama ini  kita begitu gencar membicarakan masalah problematika dan moralitas bangsa. Ketika ada pejabat atau pemimpin yang melakukan korupsi, dengan bermodalkan seragam almamater kita beramai-ramai melakukan aksi demo. Kita mengutuk korupsi sebagai perbuatan yang teramat keji dan tidak berperikemanusiaan. Tapi, kita tidak pernah malu dan merasa bersalah ketika melakukan perbuatan menyontek. Kita selalu kritis terhadap kesalahan orang lain, tapi tidak pernah mengakui tatkala diri sendiri melakukan kesalahan yang sama.
Kita mengaku sebagai orang berpendidikan, berkarakter, dan memiliki moralitas yang tinggi. Tapi, pada kenyataannya kita hanyalah seorang penjilat yang mengkhianati pendidikan. Sama halnya seperti koruptor yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat, menyontek saat ujian adalah salah satu bukti kita juga termasuk pengkhianat. Mengkhianati pendidikan, orang tua, bangsa, dan diri sendiri. Bayangkan, jika terhadap diri sendiri saja masih berkhianat, apalagi terhadap orang lain. Lebih-lebih jika dipercayakan untuk memimpin bangsa ini di kemudian hari. Kecil kemungkinannya jika ia tidak akan mengkhianati negeri ini. Intinya, orang yang sering menyontek itu tidak bisa dipercaya.
Sebagai manusia intelektual, seharusnya kita bisa intropeksi diri. Selama ini apa yang sudah kita lakukan untuk negeri ini? Sudahkah kita membanggakan negeri ini, atau sebaliknya? Saat ini kita memiliki tanggungjawab sebagai agen perubahan  yang akan menentukan nasib bangsa di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, mulailah untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik mulai dari hal-hal kecil dan sederhana, seperti kejujuran dan tanggungjawab.
Sebagai pelajar dan mahasiswa, kita bisa menanamkan kejujuran dan tanggung jawab dalam diri masing-masing dengan menghindari perbuatan menyontek. Apabila prinsip itu diterapkan dalam diri pelajar dan mahasiswa sejak dini, saya yakin kelak ketika diberi amanah untuk menjadi pemimpin di negeri ini, kita akan malu untuk melakukan korupsi. Karena sejak di bangku sekolah mereka sudah melatih diri untuk selalu jujur dan tanggungjawab.
Selama ini kita menganggap persoalan menyontek sebagai hal yang biasa, hampir seluruh masyarakat yang pernah duduk di pendidikan formal pernah merasakan nikmatnya dunia menyontek. Tapi, apakah pernah terpikir di benak kita, bahwa persoalan kecil seperti menyontek yang selama ini dianggap sepele menjadi salah satu pemicu terjadinya korupsi. Dengan menyontek kita mungkin lulus secara nilai, tapi gagal secara kejujuran.

Sumber: http://www.lintasnasional.com/2016/03/30/opini-belajar-korupsi-di-bangku-pendidikan/