Senin, 11 Mei 2015

Damai untuk Perempuan Aceh


            Berbicara  masalah perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam, sangat erat kaitannya dengan kaum wanita. Sebuah potret buram Aceh pada masa silam, menggambarkan kehidupan masyarakat aceh dalam lembar  kelabu, sekitar puluhan tahun yang lalu, ketika konflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh telah menciptakan penderitaan yang sangat mendalam bagi masyarakat setempat, terutama bagi kaum wanita.
          Konflik yang berawal karena ketidakpuasan atas pelaksanaan perjanjian antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh merupakan imbas dari “pengingkaran” Presiden Republik Indonesia terhadap tuntutan masyarakat Aceh saat itu. Ketidakpuasan tersebut menggerakan jiwa masyarakat aceh untuk meminta pertanggungjawaban pemerintahan pusat, dengan melakukan perlawanan angkat senjata yang dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).  GAM merekrut banyak pejuang untuk menjalankan misinya, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Mereka meninggalkan sanak keluarga untuk mengembalikan marwah  Aceh yang telah diinjak-injak oleh pemerintah pusat.
Salah satu penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh ketika konflik adalah dengan adanya Daerah Operasi Militer (DOM) yang diterapkan oleh pemerintah Pusat di Aceh. Pemberlakuan  DOM merupakan masa kekelaman Aceh yang telah menciptakan penderitaan dan trauma yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Pada masa DOM, begitu banyak organ militer dari luar Provinsi Aceh didatangkan. Penempatan personil–personil militer tambahan oleh pemerintah pusat sebagai follow up pemberlakuan DOM dilakukan demi melumpuhkan perjuangan GAM. Satu per satu wilayah basis GAM “direbut” kembali oleh tentara militer Indonesia, sehingga menyebabkan Korban dari pihak GAM semakin banyak berjatuhan. 
Akan tetapi, kondisi ini belum mampu “mematikan” semangat tentara GAM dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat. Sebahagian dari istri–istri korban dari pihak GAM merasa bertanggungjawab meneruskan perjuangan, mereka lebih dikenal dengan sebutan inong balee. Selain mengambil alih peran suami sebagai kepala kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk merawat dan menafkahi keluarganya, mereka juga turut berperan dalam  melakukan perjuangan, baik dalam pertempuran maupun sebagai elemen pendukung.
          Berbagai strategi diterapkan oleh kedua pihak untuk mendapatkan kemenangan, yang diantara strategi tersebut, baik yang dilakukan oleh GAM maupun militer pemerintah pusat malah merugikan masyarakat. Penangkapan warga yang dicurigai sebagai pejuang GAM, penculikan sebagai vonis terhadap cuak (mata–mata) membuat masyarakat cemas dan diselimuti oleh rasa ketakutan . Strategi–strategi seperti itu seakan menjadi teror bagi masyarakat, terutama yang bertempat tinggal di wilayah pelosok. Kondisi ini menyebabkan banyak  kaum lelaki meninggalkan tempat kediaman dan keluarganya dengan terpaksa demi menghindari incaran tentara militer. Sehingga sebagian besar tempat di Aceh terutama didaerah pelosok kebanyakan hanya dihuni oleh kaum wanita, anak-anak, dan para orangtua yang sudah tak berdaya.
          Dalam situasi serba darurat  ini, para wanita aceh harus berjuang untuk bias bertahan hidup dan mengambil alih peran suami sebagai tulang punggung keluarga. Bayangkan, dengan kondisi jiwa yang terancam, mereka harus mati-matian bekerja keras demi menafkahi keluarga dan anak-anaknya. Bukan hanya itu, berbagai bentuk tindak kekerasan, seperti: penganiayaan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan juga dialami oleh wanita aceh saat itu.

Tragedi pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara-tentara militer Indonesia terhadap dara-dara aceh saat itu sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan. Mereka ditelanjangi dan dipaksa untuk memuaskan nafsu bejat tentara-tentara militer dengan cara yang biadab didepan keluarganya sendiri. Wanita Aceh saat itu seperti tidak ada harga sama sekali dimata mereka. Kehidupan masyarakat Aceh pasca konflik sungguh memprihatinkan.  Banyak anak-anak dan wanita yang mengalami trauma dan kehilangan semangat hidup karena penderitaan dan ketidak-adilan yang selalu menyiksa batin dan jiwa mereka. Bahkan, tidak sedikit wanita-wanita Aceh yang menjadi gila dan mencoba untuk bunuh diri akibat trauma yang ditimbulkan pada masa konflik.
Selama bertahun-tahun masyarakat aceh hidup dalam darah dan air mata. Berbagai tekanan dan penderitaan yang dialami pada masa konflik menjadikan wanita-wanita aceh sedikit lebih resisten, sehingga timbullah sebuah kesadaran dalam diri mereka untuk bisa bangkit dan berusaha memperjuangkan perdamaian. Sehingga pada tahun 2000, terbentuklah sebuah kongres wanita aceh yang dikenal dengan ''Duek Pakat Inong Aceh''. Kongres ini dihadiri oleh kaum wanita dari berbagai latar belakang dan profesi yang berbeda.  
Ada yang berasal dari kalangan mahasiswi, ibu rumah tangga, inong balee, dan para wanita yang bekerja sebagai pegawai, mereka berkumpul, saling berbagi pengalaman, dan melakukan diskusi-diskusi serta pemecahan masalah dalam meraih impian mereka untuk mewujudkan damai di bumi Aceh. Beberapa rancangan serta solusi untuk mewujudkan perdamaian dilakukan dengan cara berdialog dengan berbagai pihak, termasuk kepada pemerintah pusat. Mereka juga ikut andil dalam beberapa perundingan, bahkan sampai pada puncak perdamaian Aceh dan Indonesia, yaitu tepat ketika terjadinya penandatanganan ''MoU Helsinki'' antara GAM dengan pemerintah pusat pada tanggal 15 Agustus 2005, peran dan keterlibatan wanita Aceh sangat besar.
Akan tetapi, setelah adanya penandatanganan MoU di Helsinki, apakah para wanita Aceh sudah merasakan perdamaian seperti yang diharapkan dan selalu diimpikan sejak dulu? 
Perlu dipahami, bahwa arti perdamaian bukan hanya sekedar terbebas dari konflik dan perang senjata. Tetapi, perdamaian yang sesungguhnya adalah ketika kita bisa menikmati kehidupan ini dengan penuh ketentraman, aman, nyaman, dan terhindar dari segala bentuk ancaman dan rasa takut.            Perdamaian memang suatu anugrah terindah yang wajib disyukuri, akan tetapi damai yang dirasakan oleh kaum wanita di bumi Aceh tak seindah yang diimpikan. Kehidupan kaum wanita selama konflik dan sesudah konflik berakhir tidak jauh berbeda, selalu menjadi korban dan menanggung berbagai luka dan penderitaan yang tidak ada habisnya. Dari tahun ketahun, berbagai kasus tindak kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan kepada kaum wanita semakin merajalela. Sangat tidak wajar, sebagai daerah yang dijuluki sebagai nanggroe seuramoe mekkah tetapi para wanitanya masih diperlakukan dengan tidak adil dan penuh dengan penderitaan.
   Mungkin selama ini kita sering mendengar emansipasi wanita sebagai simbol gerakan memperjuang keadilan bagi kaum wanita. Namun sangat disayangkan, emansipasi belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat. Saat ini, di Aceh hanya segelintir orang saja yang peduli dengan emansipasi, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan dan telah mengenyam pendidikan yang tinggi. Sementara bagi mereka yang tinggal di daerah pelosok dan jauh dari dunia pendidikan, mereka masih sangat awam dengan kata emansipasi. Mereka tidak menyadari akan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan. Sehingga begitu banyak ketidak-adilan yang dirasakan oleh wanita-wanita Aceh yang tinggal di daerah pelosok. Mereka diberi batasan-batasan dalam melakukan sesuatu, posisi mereka tidak boleh sama dengan kaum lelak apalagi jika sampai lebih tinggi dari kaum lelaki.

Pertanyaannya, siapakah yang harus bertanggung jawab atas ketidak-adilan yang selalu dialami oleh kaum wanita Aceh?

Berbicara tentang ketidak-adilan dan penderitaan yang selalu menghiasi kehidupan kaum wanita ini, tentu tidak pernah terlepas dari kebijakan pemerintah dalam mengatur negeri ini. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan hak-hak dan keadilan yang seharusnya diperoleh wanita. Mereka yang masih awam dengan kata emansipasi dan jauh dari dunia pendidikan, seharusnya diberikan penyuluhan, pelatihan dan wawasan agar mereka bebas berkarir di bidang manapun tanpa adanya perbedaan dengan kaum lelaki. Selain itu, terhadap kasus-kasus kriminal dan tindak kekerasan terhadap kaum wanita, pemerintah Aceh seharusnya lebih tegas dalam memberlakukan hukum dan sanksi-sanksi demi menciptakan kedamaian dan keamanan bagi kaum wanita.
Di sisi lain, sebagai kaum wanita sudah seharusnya kita memiliki kesadaran dan semangat yang tinggi untuk memperoleh keadilan dan kedamaian dalam hidup, tidak semata-mata berharap belas kasihan dari pemerintah. Perdamaian tidak akan datang dengan sendirinya, damai itu akan tumbuh jika kita menciptakannya. Konflik dan perang senjata memang telah berakhir, tapi yang dirasakan oleh kaum wanita aceh masih belum terwujud dengan baik. Sudah seharusnya wanita aceh sadar dan mau berjuang untuk mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya.
Pasca–Perdamaian, dalam rentang beberapa tahun semenjak Aceh menjadi propinsi pertama yang pemerintahannya dapat membuat berbagai kebijakan khusus demi pembangunan propinsi, tampak jelas terjadinya ketidak-selarasan kebijakan pembangunan antara pihak eksekutif dengan legislatif. Sebagai pimpinan dari wilayah eks konflik, sudah seharusnya peran gubernur dapat dirasakan hingga masyarakat kecil. Namun, sebagai pelaksana pemerintah propinsi, gubernur tidak meng-aplikasikan site plan pembangunan kesejahteraan masyarakat yang merata dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, DPRA yang notabe perpanjangan tangan dari rakyat di dalam pemerintahan, sudah seharusnya mengarahkan pihak eksekutif agar membuat program–program pembangunan kesejahteraan yang lebih merakyat, bukannya mencoba merakyatkan program–program tertentu. 
Selain itu, kurangnya keterlibatan wanita yang membuat arah pembangunan Aceh terkesan “miring”. Semua itu berawal dari semangat perjuangan kemerdekaan. Esensi kemerdekaan tidak sekedar berbicara lepas dari pendudukan penjajahan bangsa/ ras/ suku lain, lebih dari itu, merdeka dari ketidak–adilan, kebodohan dan kemiskinan! Untuk itu diharapkan segala dukungan, partisipasi dan kerjasama kaum wanita untuk bersama–sama memperjuangkan kemerdekaan dan mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya demi kenyamanan dan keadilan yang dapat dinikmati oleh semua pihak, terutama untuk kaum wanita itu sendiri. []




Note:
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis Essay yang diselenggarakan oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh.








Kesetaraan Gender dalam Kehidupan


Wanita adalah simbol keindahan yang diciptakan sebagai perhiasan dunia. Tetapi, di sisi lain wanita juga identik dengan simbol kekerasan dan pelecehan. Selama ini kita sering melihat adanya dominasi budaya patriarki yang menimbulkan berbagai bentuk ketidak–adilan, diskriminasi dan berbagai bentuk kekerasan yang banyak menimpa kaum wanita. Meskipun gema aspirasi bergaung meneriakan emansipasi dan anti diskriminasi terhadap kaum wanita, tetapi semakin kencang teriakan-teriakan tersebut semakin banyak pula wanita–wanita yang tersakiti dan diperlakukan dengan tidak adil. Kaum wanita sering dianggap sebagai sosok yang lemah dan tidak pantas untuk bersaing dan disamakan kedudukannya dengan kaum lelaki. Peran wanita cenderung dikaitkan dengan peran seorang ibu rumah tangga, yang tugasnya hanya di rumah dan mengurus anak, yang pada akhirnya masyarakat berasumsi bahwa itulah ''kodrat'' seorang wanita.
Khusus di Provinsi Aceh, emansipasi wanita tentunya akan bertabrakan dengan pemikiran-pemikiran masyarakat yang kurang fleksibel, dimana masyarakat tersebut tetap akan memberikan stigma dan mengamini bahwasanya kaum wanita berada di bawah kaum lelaki. Dogma yang membuat masyarakat menjadi “sedikit” sinis dengan pergerakan emansipasi wanita. Padahal sejatinya, pergerakan emansipasi wanita adalah pergerakan yang memperjuangkan hak wanita sebagai bagian dari masyarakat seperti halnya kaum lelaki, bukannya persamaan kodrat mutlak yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. ke tiap–tiap kaum (wanita dan lelaki).
Jika kita membuka kembali lembar sejarah, sebenarnya kaum wanita memiliki pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam berbagai segi kehidupan, khususnya di Aceh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat diketahui bahwa tumbuh kembangnya masyarakat Aceh tidak pernah terlepas dari peran kaum wanita, baik dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam pemerintahan kerajaan, siapa yang tidak mengenal ratu Safiatuddin, salah satu generasi pemimpin Kesulthan Aceh yang juga mempertahankan kejayaan kesultanan pimpinan. Ada pula Laksamana Cut Keumalahayati, Laksamana wanita di dunia. ''Diplomasi, diplomasi, diplomasi, perang!'' merupakan pernyataan yang dikemukakan oleh Laksamana Cut Keumalahayati yang membuat Aceh mendapat tempat istimewa di mata dunia Internasional. 
Dalam pemerintahan sekarang, kita bisa melihat bagaimana sosok Illiza Sa’aduddin Djamal, Pj Walikota Banda Aceh yang mampu menggantikan peran Alm. Mawardi Nurdin dengan begitu baik. Dari dunia akademisi, saya selaku mahasiswi Universitas Malikussaleh, menjadi saksi sejarah ketika kemampuan akademis dan kepemimpinan Dr. Ir. Mawardati, M.Si. sosok dosen yang cukup disegani dan diidolakan oleh banyak mahasiswa. Berkat kemampuan dan jiwa kepemimpinannya yang tinggi, beliau berhasil mendapatkan posisi sebagai dekan wanita pertama di Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh.
Beberapa sosok yang tersebut di atas, telah memberikan gambaran yang jelas bahwa kaum wanita juga memiliki potensi yang luar biasa dalam hal kepemimpinan dan dapat berperan dalam perkembangan bangsa. Proses yang telah mereka lalui tersebut adalah esensi dari pergerakan emansipasi wanita. Hal tersebut sudah seharusnya diperjuangkan secara utuh, dengan dasar niat demi kebaikan kehidupan secara menyeluruh.
Dalam kehidupan berumah tangga, peran wanita sebagai seorang istri juga tidak kalah pentingnya dengan peran lelaki (suami). Jika sebuah rumah tangga diibaratkan sebagai sebuah kapal, maka seorang suami bertugas menjadi seorang nahkoda, istri berperan menjadi wakil nahkoda, dan anak adalah awak kapal. Dalam pemenuhan ekonomi rumah tangga, saya merasa peng-analogisan tersebut sangat tepat. Ketika suami yang selama ini diyakini sebagai sosok yang wajib menafkahi keluarga tidak mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, maka peran istri sudah sepatutnya menutupi kekurangan suami. Dengan kata lain, istri juga harus bisa mandiri, tidak selamanya harus bergantung pada suami. Berdasarkan penelitian tentang peranan wanita dalam pemenuhan kebutuhan pokok keluarga Gampong Meunasah Dayah Muara Satu Kota Lhokseumawe, Samsul Rizal (2003) menyimpulkan bahwa peran wanita peran wanita sangat mendukung kestabilan ekonomi rumah tangga. Kestabilan ekonomi rumah tangga merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi keutuhan rumah tangga, oleh karena itu, istri (wanita) wajib mengambil peran dengan baik, guna membangun harmonisasi rumah tangga.
Bila membicarakan konsep kesetaraan gender dalam agama Islam, Islam tidak pernah menghalangi kesetaraan gender antara lelaki dan wanita. Dalam ajaran Islam, pada dasarnya semua manusia memiliki derajat yang sama. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt :
 ''... para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf” (Al-Baqarah : 228).
Selain itu, sesuai dengan pengakuan salah seorang sahabat Rasululullah, yaitu Umar Bin Khattab, beliau berkata :
 ''Pada masa jahiliyah, wanita itu tidak ada harganya bagi kami. Sampai akhirnya Islam datang dan menyatakan bahwa wanita itu sederajat dengan laki-laki”.
Dari kedua dalil diatas, sudah sangat jelas bahwa, anggapan bahwa Islam melarang emansipasi wanita adalah suatu kekeliruan. Justru sebaliknya, Islam sangat mendukung adanya kesetaraan gender antara kaum wanita dan laki-laki. Akan tetapi, tuntutan kesetaraan gender juga tidak boleh melewati garis kodrat yang telah ditentukan. Adalah hal yang wajar jika kaum wanita menuntut persamaan hak dan kedudukan dengan kaum lelaki dalam dunia pendidikan, politik, dan berbagai kehidupan lainnya. Namun, di sisi lain wanita juga tidak boleh melupakan kodrat dan tanggung jawabnya sebagai seorang wanita. Dalam keluarga dan kehidupan rumah tangga, seorang wanita tetap memiliki perananan sebagai seorang istri yang berbakti pada suami dan menjaga fitrah keibuannya terhadap anak.
Secara khusus, banyak hal dan potensi yang dapat digali dari sosok seorang wanita, baik dalam pemerintahan maupun rumah tangga. Untuk itu, perlu adanya perhatian khusus untuk menghargai ''keberadaan'' kaum wanita. Salah satunya adalah dengan menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan masyarakat. Jika nilai–nilai kesetaraan dan keadilan gender dapat dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, maka berbagai permasalahan dan ketidak-adilan yang membelenggu hak-hak kaum wanita dapat teratasi. Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi kaum wanita harus dilakukan beberapa misi, antara lain adalah :
(1) Meningkatkan kualitas hidup kaum wanita,. Dengan meningkatnya kualitas hidup kaum wanita, maka akan berdampak pada kualitas anak yang dikandung, dilahirkan, dan dibesarkan. Sehingga akan mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang cerdas dan berpotensi. Artinya, peningkatan indeks pembangunan manusia tidak pernah terlepas dari kualitas hidup kaum wanita.
(2) Melibatkan peran dan membuka wawasan kaum wanita dibidang politik dan jabatan publik. (3) Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum wanita,
Pada dasarnya, lelaki dan wanita diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing. Oleh sebab itu, untuk mencapai suatu kesempurnaan, antara kaum lelaki dan wanita itu harus saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, bukan saling mendominasi. Hal tersebut tentunya berlaku tidak hanya di dalam rumah tangga, tapi juga dalam berbagai sendi kehidupan. Dengan adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan wanita, harapan kehidupan lebih baik dan mencapai kesempurnaan dalam berbagai segi kehidupan akan lebih mudah terwujud.
                                       



 Note: Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis opini yang diselenggarakan oleh LBH APIK Aceh.