Minggu, 03 April 2016

Belajar Korupsi di Bangku Pendidikan


Awalnya saya merasa ragu untuk menulis tentang masalah ini. Tapi keraguan itu terkalahkan oleh kegelisahan saya terhadap mirisnya kondisi pendidikan di negeri  ini. Dimana dunia pendidikan, mulai dari bangku Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi tidak hanya berfungsi sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan dan pembentuk karakter anak bangsa, tapi juga menjadi tempat untuk belajar menjadi pencuri dan calon koruptor masa depan bagi generasi muda kita. Kedengarannya memang sadis, tapi suka atau tidak, itulah realita yang terjadi di lapangan.
Perlu dipahami bahwa korupsi tidak selamanya selalu berkaitan dengan uang. Segala bentuk kecurangan dan penipuan yang dilakukan demi mendapatkan suatu keuntungan adalah bagian dari perbuatan korupsi, termasuk salah satunya adalah menyontek saat ujian. Perbuatan menyontek tidak jauh berbeda dengan korupsi. Sama-sama menipu dan menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi. Maka tidak heran jika ada pejabat yang lulusan S1, S2, dan S3 menjadi koruptor di negeri ini, karena sejak duduk di bangku sekolah dan dunia perkuliahan mereka sudah terbiasa melakukan korupsi. Ketika memasuki dunia kerja, tentu saja mereka sudah menjadi koruptor yang handal dan profesional.
Budaya Menyontek
Saya yakin, menyontek bukanlah hal yang baru dalam masyarakat indonesia. Meski tidak dibenarkan dalam dunia pendidikan, tapi kegiatan menyontek ini sudah menjadi suatu tradisi yang sulit untuk dihilangkan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Lihat saja, beberapa hari menjelang ujian, tempat-tempat  fotokopi yang ada di seputaran kampus dan sekolah-sekolah mendadak menjadi ramai. Para pelajar dan mahasiswa sibuk memfotokopikan catatan dan bahan-bahan kuliah dengan ukuran sekecil mungkin sehingga tulisannya nyaris tak terlihat. Barangkali hanya orang-orang profesional yang bisa membaca tulisan tersebut. Pofesional dalarm  bidang menyontek tentunya.
Ada juga yang menulis konsep di kertas yang dipotong kecil-kecil dan disambung hingga panjangnya mencapai satu meter, lalu dilipat sedemikian rupa hingga tinggal dua satu sentimeter. Bukan hanya itu, tidak tanggung-tanggung, ketika ujian sedang berjalan, ada yang langsung browsing jawaban di internet. Antara heran dan kagum, ternyata mereka yang sering menyontek adalah orang-orang yang kreatif dan berani.

Namun, apapun alasannya, bagaimana pun prosesnya, dan dimana pun tempatnya, perlu digarisbawahi bahwa mencuri dan menipu adalah perbuatan tercela dan tak bermoral, termasuk menipu guru, dosen, serta pengawas saat ujian. Bahkan yang lebih parahnya lagi, akibat menyontek, kita tidak hanya menipu orang lain tapi juga menipu diri sendiri. Pada dasarnya ujian adalah untuk menguji sejauh mana kemampuan kita dalam menguasai pelajaran yang sudah pernah dipelajari. Nah, kalau hasil ujiannya dari usaha menyontek dan buka catatan, bagaimana kita bisa mengukur kemampuan diri sendiri?  

Sayangnya, banyak diantara kita yang selama ini masih salah kaprah terhadap dunia pendidikan. Mereka beranggapan bahwa tujuan utama sekolah dan kuliah hanya untuk memperoleh gelar dan selembar ijazah, bukan untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Sehingga yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya agar bisa mendapat nilai dan Ipk yang tinggi, meski nilai yang diperoleh tidak sebanding dengan kemampuan yang mereka miliki. Jika itu hasil yang diharapkan dari sebuah dunia pendidikan, maka saya menyarankan sebaiknya guru dan dosen tidak perlu lagi mengajar di depan kelas setiap hari, cukup kasih tugas dan ujian saja setiap hari. Karena yang mereka butuhkan hanyalah nilai dan ijazah, bukan ilmu pengetahuan.

Intropeksi Diri
Selama ini  kita begitu gencar membicarakan masalah problematika dan moralitas bangsa. Ketika ada pejabat atau pemimpin yang melakukan korupsi, dengan bermodalkan seragam almamater kita beramai-ramai melakukan aksi demo. Kita mengutuk korupsi sebagai perbuatan yang teramat keji dan tidak berperikemanusiaan. Tapi, kita tidak pernah malu dan merasa bersalah ketika melakukan perbuatan menyontek. Kita selalu kritis terhadap kesalahan orang lain, tapi tidak pernah mengakui tatkala diri sendiri melakukan kesalahan yang sama.
Kita mengaku sebagai orang berpendidikan, berkarakter, dan memiliki moralitas yang tinggi. Tapi, pada kenyataannya kita hanyalah seorang penjilat yang mengkhianati pendidikan. Sama halnya seperti koruptor yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat, menyontek saat ujian adalah salah satu bukti kita juga termasuk pengkhianat. Mengkhianati pendidikan, orang tua, bangsa, dan diri sendiri. Bayangkan, jika terhadap diri sendiri saja masih berkhianat, apalagi terhadap orang lain. Lebih-lebih jika dipercayakan untuk memimpin bangsa ini di kemudian hari. Kecil kemungkinannya jika ia tidak akan mengkhianati negeri ini. Intinya, orang yang sering menyontek itu tidak bisa dipercaya.
Sebagai manusia intelektual, seharusnya kita bisa intropeksi diri. Selama ini apa yang sudah kita lakukan untuk negeri ini? Sudahkah kita membanggakan negeri ini, atau sebaliknya? Saat ini kita memiliki tanggungjawab sebagai agen perubahan  yang akan menentukan nasib bangsa di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, mulailah untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik mulai dari hal-hal kecil dan sederhana, seperti kejujuran dan tanggungjawab.
Sebagai pelajar dan mahasiswa, kita bisa menanamkan kejujuran dan tanggung jawab dalam diri masing-masing dengan menghindari perbuatan menyontek. Apabila prinsip itu diterapkan dalam diri pelajar dan mahasiswa sejak dini, saya yakin kelak ketika diberi amanah untuk menjadi pemimpin di negeri ini, kita akan malu untuk melakukan korupsi. Karena sejak di bangku sekolah mereka sudah melatih diri untuk selalu jujur dan tanggungjawab.
Selama ini kita menganggap persoalan menyontek sebagai hal yang biasa, hampir seluruh masyarakat yang pernah duduk di pendidikan formal pernah merasakan nikmatnya dunia menyontek. Tapi, apakah pernah terpikir di benak kita, bahwa persoalan kecil seperti menyontek yang selama ini dianggap sepele menjadi salah satu pemicu terjadinya korupsi. Dengan menyontek kita mungkin lulus secara nilai, tapi gagal secara kejujuran.

Sumber: http://www.lintasnasional.com/2016/03/30/opini-belajar-korupsi-di-bangku-pendidikan/