Senin, 11 Mei 2015

Kesetaraan Gender dalam Kehidupan


Wanita adalah simbol keindahan yang diciptakan sebagai perhiasan dunia. Tetapi, di sisi lain wanita juga identik dengan simbol kekerasan dan pelecehan. Selama ini kita sering melihat adanya dominasi budaya patriarki yang menimbulkan berbagai bentuk ketidak–adilan, diskriminasi dan berbagai bentuk kekerasan yang banyak menimpa kaum wanita. Meskipun gema aspirasi bergaung meneriakan emansipasi dan anti diskriminasi terhadap kaum wanita, tetapi semakin kencang teriakan-teriakan tersebut semakin banyak pula wanita–wanita yang tersakiti dan diperlakukan dengan tidak adil. Kaum wanita sering dianggap sebagai sosok yang lemah dan tidak pantas untuk bersaing dan disamakan kedudukannya dengan kaum lelaki. Peran wanita cenderung dikaitkan dengan peran seorang ibu rumah tangga, yang tugasnya hanya di rumah dan mengurus anak, yang pada akhirnya masyarakat berasumsi bahwa itulah ''kodrat'' seorang wanita.
Khusus di Provinsi Aceh, emansipasi wanita tentunya akan bertabrakan dengan pemikiran-pemikiran masyarakat yang kurang fleksibel, dimana masyarakat tersebut tetap akan memberikan stigma dan mengamini bahwasanya kaum wanita berada di bawah kaum lelaki. Dogma yang membuat masyarakat menjadi “sedikit” sinis dengan pergerakan emansipasi wanita. Padahal sejatinya, pergerakan emansipasi wanita adalah pergerakan yang memperjuangkan hak wanita sebagai bagian dari masyarakat seperti halnya kaum lelaki, bukannya persamaan kodrat mutlak yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. ke tiap–tiap kaum (wanita dan lelaki).
Jika kita membuka kembali lembar sejarah, sebenarnya kaum wanita memiliki pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam berbagai segi kehidupan, khususnya di Aceh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat diketahui bahwa tumbuh kembangnya masyarakat Aceh tidak pernah terlepas dari peran kaum wanita, baik dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam pemerintahan kerajaan, siapa yang tidak mengenal ratu Safiatuddin, salah satu generasi pemimpin Kesulthan Aceh yang juga mempertahankan kejayaan kesultanan pimpinan. Ada pula Laksamana Cut Keumalahayati, Laksamana wanita di dunia. ''Diplomasi, diplomasi, diplomasi, perang!'' merupakan pernyataan yang dikemukakan oleh Laksamana Cut Keumalahayati yang membuat Aceh mendapat tempat istimewa di mata dunia Internasional. 
Dalam pemerintahan sekarang, kita bisa melihat bagaimana sosok Illiza Sa’aduddin Djamal, Pj Walikota Banda Aceh yang mampu menggantikan peran Alm. Mawardi Nurdin dengan begitu baik. Dari dunia akademisi, saya selaku mahasiswi Universitas Malikussaleh, menjadi saksi sejarah ketika kemampuan akademis dan kepemimpinan Dr. Ir. Mawardati, M.Si. sosok dosen yang cukup disegani dan diidolakan oleh banyak mahasiswa. Berkat kemampuan dan jiwa kepemimpinannya yang tinggi, beliau berhasil mendapatkan posisi sebagai dekan wanita pertama di Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh.
Beberapa sosok yang tersebut di atas, telah memberikan gambaran yang jelas bahwa kaum wanita juga memiliki potensi yang luar biasa dalam hal kepemimpinan dan dapat berperan dalam perkembangan bangsa. Proses yang telah mereka lalui tersebut adalah esensi dari pergerakan emansipasi wanita. Hal tersebut sudah seharusnya diperjuangkan secara utuh, dengan dasar niat demi kebaikan kehidupan secara menyeluruh.
Dalam kehidupan berumah tangga, peran wanita sebagai seorang istri juga tidak kalah pentingnya dengan peran lelaki (suami). Jika sebuah rumah tangga diibaratkan sebagai sebuah kapal, maka seorang suami bertugas menjadi seorang nahkoda, istri berperan menjadi wakil nahkoda, dan anak adalah awak kapal. Dalam pemenuhan ekonomi rumah tangga, saya merasa peng-analogisan tersebut sangat tepat. Ketika suami yang selama ini diyakini sebagai sosok yang wajib menafkahi keluarga tidak mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, maka peran istri sudah sepatutnya menutupi kekurangan suami. Dengan kata lain, istri juga harus bisa mandiri, tidak selamanya harus bergantung pada suami. Berdasarkan penelitian tentang peranan wanita dalam pemenuhan kebutuhan pokok keluarga Gampong Meunasah Dayah Muara Satu Kota Lhokseumawe, Samsul Rizal (2003) menyimpulkan bahwa peran wanita peran wanita sangat mendukung kestabilan ekonomi rumah tangga. Kestabilan ekonomi rumah tangga merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi keutuhan rumah tangga, oleh karena itu, istri (wanita) wajib mengambil peran dengan baik, guna membangun harmonisasi rumah tangga.
Bila membicarakan konsep kesetaraan gender dalam agama Islam, Islam tidak pernah menghalangi kesetaraan gender antara lelaki dan wanita. Dalam ajaran Islam, pada dasarnya semua manusia memiliki derajat yang sama. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt :
 ''... para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf” (Al-Baqarah : 228).
Selain itu, sesuai dengan pengakuan salah seorang sahabat Rasululullah, yaitu Umar Bin Khattab, beliau berkata :
 ''Pada masa jahiliyah, wanita itu tidak ada harganya bagi kami. Sampai akhirnya Islam datang dan menyatakan bahwa wanita itu sederajat dengan laki-laki”.
Dari kedua dalil diatas, sudah sangat jelas bahwa, anggapan bahwa Islam melarang emansipasi wanita adalah suatu kekeliruan. Justru sebaliknya, Islam sangat mendukung adanya kesetaraan gender antara kaum wanita dan laki-laki. Akan tetapi, tuntutan kesetaraan gender juga tidak boleh melewati garis kodrat yang telah ditentukan. Adalah hal yang wajar jika kaum wanita menuntut persamaan hak dan kedudukan dengan kaum lelaki dalam dunia pendidikan, politik, dan berbagai kehidupan lainnya. Namun, di sisi lain wanita juga tidak boleh melupakan kodrat dan tanggung jawabnya sebagai seorang wanita. Dalam keluarga dan kehidupan rumah tangga, seorang wanita tetap memiliki perananan sebagai seorang istri yang berbakti pada suami dan menjaga fitrah keibuannya terhadap anak.
Secara khusus, banyak hal dan potensi yang dapat digali dari sosok seorang wanita, baik dalam pemerintahan maupun rumah tangga. Untuk itu, perlu adanya perhatian khusus untuk menghargai ''keberadaan'' kaum wanita. Salah satunya adalah dengan menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan masyarakat. Jika nilai–nilai kesetaraan dan keadilan gender dapat dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, maka berbagai permasalahan dan ketidak-adilan yang membelenggu hak-hak kaum wanita dapat teratasi. Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi kaum wanita harus dilakukan beberapa misi, antara lain adalah :
(1) Meningkatkan kualitas hidup kaum wanita,. Dengan meningkatnya kualitas hidup kaum wanita, maka akan berdampak pada kualitas anak yang dikandung, dilahirkan, dan dibesarkan. Sehingga akan mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang cerdas dan berpotensi. Artinya, peningkatan indeks pembangunan manusia tidak pernah terlepas dari kualitas hidup kaum wanita.
(2) Melibatkan peran dan membuka wawasan kaum wanita dibidang politik dan jabatan publik. (3) Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum wanita,
Pada dasarnya, lelaki dan wanita diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing. Oleh sebab itu, untuk mencapai suatu kesempurnaan, antara kaum lelaki dan wanita itu harus saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, bukan saling mendominasi. Hal tersebut tentunya berlaku tidak hanya di dalam rumah tangga, tapi juga dalam berbagai sendi kehidupan. Dengan adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan wanita, harapan kehidupan lebih baik dan mencapai kesempurnaan dalam berbagai segi kehidupan akan lebih mudah terwujud.
                                       



 Note: Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis opini yang diselenggarakan oleh LBH APIK Aceh.

2 komentar:

  1. Bereh_______Lanjoetkan.....! kata Bang Beye.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teurimoeng geunaseh Tgk,,,,,
      Mohon kritik dan sarannya...

      Hapus